Tantangan Besar di Dua Tahun Ke Depan Bagi Pasar Pinjaman P2P
Selamat ulang tahun! Pasar pinjaman peer-to-peer (P2P) Indonesia yang lahir pada tahun 2016 kini telah berusia satu tahun. Perusahaan-perusahaan P2P yang masih balita ini telah membantu masyarakat mendapatkan Rp 275 miliar dalam bentuk pinjaman yang dikucurkan oleh para pemberi pinjaman secara online.
Ini adalah pencapaian besar, seperti balita yang merangkak lalu berjalan. Tapi, saat anak bayi mulai belajar berjalan, besar kemungkinan dia akan terjatuh. Inilah yang ingin saya soroti dalam tulisan ini.
Pinjaman peer-to-peer bukanlah hal baru di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris. Platform-platform pinjaman P2P tertua di kedua negara tersebut saat ini telah berumur 12 tahun. Dikenal dengan sebutan P2P lending atau crowdfunding, platform-platform ini pada dasarnya adalah sebuah website di mana peminjam bisa mendapatkan pendanaan atau pinjaman secara langsung dari pemberi pinjaman.
Di tahun 2016, lahir enam platform pinjaman P2P di Indonesia. Dimulai dari yang terbesar, mereka adalah: Modalku, Investree, Amartha, Mekar, Koinworks dan Crowdo. Kesemuanya menawarkan pendanaan untuk usaha kecil. Ini sesuatu yang unik, karena di banyak negara lain, pemain di industri ini biasanya menawarkan pinjaman pribadi dan bukannya pinjaman modal usaha.
Setahun berlalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya berpikir sudah saatnya mengatur sektor ini. Akhir tahun 2016, OJK akhirnya menelurkan regulasi FinTech yang mengatur pemberi pinjaman P2P. Layaknya orang tua yang baru memiliki anak, OJK juga terkesan masih menjajaki cara meregulasi yang tepat.
Namun sebenarnya OJK dan pemerintah Indonesia bisa belajar dari pasar pinjaman P2P yang lebih tua, seperti di Amerika Serikat, atau yang lebih besar, seperti di Cina. Di akhir 2015 kita dikejutkan oleh kasus Ezubao, salah satu perusahaan pinjaman P2P terbesar di Cina. Ezubao menipu 1 juta nasabahnya dan menggelapkan dana sekitar US$ 14,5 miliar. Dengan jatuhnya Ezubao, bisa dipastikan bahwa platform-platform P2P terbesar di Cina akan berusaha memperluas pasar. Mereka mungkin akan datang ke Indonesia pada tahun 2018 mendatang. Ini bisa berarti tantangan atau kesempatan.
Kontrol dan regulasi memang diperlukan untuk sektor ini di Indonesia, dan OJK mengeluarkan peraturannya di saat yang tepat.
Berikut saya jabarkan beberapa tantangan yang akan dihadapi pasar pinjaman P2P di Indonesia.
Tantangan #1 Rekening dan Penyalahgunaan Dana
Mari belajar dari platform-platform P2P di Cina. Masalah utama mereka adalah mereka memegang dan menahan dana dari para investor sebelum disalurkan ke peminjam. Hal yang sama dilakukan terhadap dana pinjaman yang dibayarkan kembali oleh peminjam, pengembalian ke investor ditunda untuk beberapa saat dan dananya ditahan oleh perusahaan. Saat dana ini menjadi sangat besar dan perusahaan ambruk, hilanglah dana tersebut.
Peraturan OJK menyebutkan bahwa sebuah perusahaan pinjaman P2P harus memiliki sebuah rekening escrow untuk menampung dana dari pemberi pinjaman. Rekening escrow adalah rekening yang dipegang oleh pihak ketiga dan penarikan dana dari rekening ini diatur dengan peraturan-peraturan yang ketat dan hanya untuk peruntukan tertentu
Rekening escrow harus sepenuhnya dipegang oleh pihak ketiga, atau perusahaan P2P harus bekerja sama dengan bank untuk membuatkan rekening P2P khusus bagi para pemberi pinjaman, dimiliki langsung oleh pemberi pinjaman dan bukan oleh perusahaan.
Tantangan #2 Pinjaman Dijual Dua Kali
Masalah lainnya di Cina adalah, secara teori, sebuah platform pinjaman P2P bisa saja menjual satu pinjaman dua kali, secara sengaja maupun tidak. Kalau ini terjadi, dana yang diperoleh dari menjual pinjaman kedua kalinya mungkin akan disalahgunakan. Ini jelas penipuan.
Untuk menghindarinya, semua dana dari investor harus ditransfer secara langsung ke peminjam, dan tidak melalui operator platform. Selain itu, perusahaan pinjaman P2P juga harus membuat penghitungan jumlah pinjaman dengan cara dinomori berurut seperti nomor faktur. Ini membuat audit OJK jauh lebih mudah.
Tantangan #3 Sembunyikan atau Jual Bangkainya
Anda tahu film The Big Short? Film ini bercerita tentang bagaimana tidak seorang pun –kecuali beberapa yang sangat paranoid, mendatangi rumah-rumah yang hipoteknya dijual oleh Lehman Brothers dan Bear Stearns dalam paket-paket CDO (kewajiban utang kolateral) berperingkat ‘Triple-A’.
Kita semua tahu akhir ceritanya. Paket-paket kredit itu semuanya busuk seperti bangkai kucing.
Di bulan Mei 2016, CEO dari Lending Club terpaksa mundur setelah menjual kredit-kredit “near prime” dengan jumlah hampir US$ 20 juta pada lembaga investor yang tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya dari pinjaman-pinjaman tersebut.
Karena inilah, semua platform sebaiknya mempublikasikan rasio Non Performing Loans (NPL) mereka. Dan nilai NPL ini harus diaudit oleh OJK atau auditor lainnya yang independen.
Tantangan #4 Akses ke Database Histori Kredit
Sebagian besar orang Indonesia yang pernah meminjam uang terdaftar di sistem yang disebut SID database yang mendata histori kredit mereka. Entah mengapa, OJK dan BI mempersulit lembaga keuangan non-bank (seperti perusahaan pinjaman P2P, koperasi-koperasi simpan pinjam dan perusahaan multiFinance) untuk mengakses informasi ini. Ini berarti banyak pinjaman yang diberikan pada orang-orang yang kemungkinan besar tidak akan membayar kembali.
Menutup akses kepada sistem rating kredit SID sama saja dengan menolak memberikan informasi penting dan ini akan mencederai lembaga-lembaga keuangan non-bank di Indonesia. Pemerintah harus sepenuhnya mendukung dibentuknya lembaga komersial pemeringkat kredit ‘Pefindo’ demi menghindari kerugian nasabah.
Tantangan #5 Transfer Dana
Sistem pembayaran antar bank di Indonesia sudah sangat kuno, juga tidak transparan dan mahal. Bank-bank di Indonesia suka sekali mengenakan biaya setiap kali seseorang melakukan transfer. Saat ada uang yang masuk, seringkali tidak jelas siapa pengirimnya dan dari rekening bank mana. Hal ini menyulitkan platform-platform P2P untuk memproses dana yang masuk dengan cepat.
Cara kami mengatasi masalah ini di Mekar yaitu dengan menggunakan jasa perusahaan FinTech rintisan bernama Xendit.co, yang proses kerjanya sangat transparan dan memastikan kami tidak pernah menyentuh uang para investor serta uang yang masuk segera ditransfer ke peminjam. Tapi jasa mereka tidak murah. Seluruh pengguna jasa bank di Indonesia akan diuntungkan apabila pemerintah memaksa semua bank untuk bersama-sama membuat sistem atau gateway kliring pembayaran antar bank yang transparan dan lebih murah.
Tantangan #6 Basel 3, Bank dan Pinjaman P2P
Belajar dari krisis finansial di tahun 2008, kini sedang digodok peraturan-peraturan terkait resiko yang akan diberlakukan bagi bank. Para banker menyebutnya “Basel 3”. Salah satu bunyi peraturan ini adalah bank harus menyediakan cadangan umum yang lebih besar daripada rasio yang ditetapkan saat ini guna menutup resiko kerugian dari balance sheet lending yang mereka lakukan.
Kemudian bank berpikir, kalau begitu kita lakukan off balance sheet lending saja, sehingga kita tidak perlu menyediakan buffer cadangan umum yang disyaratkan. Untuk tujuan itu, saat ini beberapa bank telah mulai melirik peluncuran ataupun akuisisi platform-platform pinjaman P2P. Di Indonesia, beberapa bank juga sudah melakukan hal serupa.
OJK perlu menetapkan peraturan yang tegas dan menciptakan playing field yang seimbang baik untuk platform-platform P2P rintisan maupun bagi bank. Ini dibutuhkan untuk mencegah terjadinya masalah-masalah yang telah saya sebutkan di atas.
Saya mendukung OJK melakukan pengawasan yang lebih ketat dan tidak menambah peraturan, melainkan melakukan audit karena hal ini sangat diperlukan. Kekhawatiran saya sebagai seorang direktur di Mekar, sebuah platform P2P, adalah jika ada salah satu platform yang ambruk, dan membuat yang lainnya kesulitan dalam menawarkan jasa kami yang sesungguhnya sangat bermanfaat.
Mungkin ada dampak positifnya bila perusahaan pinjaman P2P dari Cina seperti Dianrong dan Lufax yang kuat dan berpengalaman masuk ke Indonesia; standar pelayanan untuk konsumen di negara ini bisa jadi akan lebih baik. Karena bagaimanapun, sektor P2P itu bertujuan untuk melayani peminjam dan pemberi pinjaman, bukan melayani para perusahaan pinjaman P2P atau bank.
Oleh Thierry Sanders, CEO PT Sampoerna Wirausaha (Mekar.id)