Dibalik Layar: Mempersiapkan Konferensi G20 di Jerman Sebuah Diskusi Tentang Pembiayaan UKM
Jerman menjadi tuan rumah G20 Summit tahun ini
Apa : Pertemuan persiapan Konferensi G20 dengan tema “Melangkah Maju dalam Pembiayaan UKM” (“Moving Forward in SME Finance”)
Di mana : Frankfurt, Jerman – Markas KFW
Kapan : 26 Februari 2017
Keberangkatan : Jakarta, suhu udara 30 derajat Celsius – lalu lintas: padat
Kedatangan : Frankfurt, suhu udara 5 derajat Celsius – lalu lintas: lengang
Jaket musim dingin : Tidak ada…
Meskipun cuaca hari itu dingin, Anna Klabunde dari Kementerian Keuangan Federal Jerman dan Matt Gamser dari IFC yang juga adalah pendiri SME Finance Forum menyambut saya dengan hangat. Mereka tidak sendirian. Bersama mereka pada hari itu ada 100 delegasi dari 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Mereka adalah para banker dari bank sentral di negara mereka, menteri-menteri luar negeri dan direktur lembaga-lembaga keuangan. Lalu di antara mereka, ada empat pengusaha FinTech dari Uganda, Denmark, Afrika Selatan dan saya, satu-satunya perwakilan dari Indonesia.
Pada musim panas tahun ini, Konferensi Tingkat Tinggi G20 akan diadakan. Pesertanya termasuk para pemimpin negara seperti perdana menteri dan presiden, termasuk Angela Merkel, Xi Jinping, Narendra Modi, Donald Trump, kawan-kawan dan musuh-musuh mereka. Sementara itu, sebelum diselenggarakannya konferensi ini, kementerian-kementerian ekonomi dan Lembaga-Lembaga untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECDs) telah menetapkan prioritas mereka pada isu pembiayaan UKM.
Pada intinya, jelas bahwa pembiayaan UKM adalah topik yang penting. Tapi bahasan ini hampir saja tidak masuk ke dalam agenda Konferensi G20 kalau bukan karena usaha dari delegasi Jerman dan lobi-lobi yang dilakukan oleh Ratu Maxima dari Belanda di tahun 2009.
Pidato-pidato yang disampaikan di pertemuan pada hari Jumat lalu itu banyak yang dimulai dengan kutipan yang sudah seringkali disampaikan, meskipun tetap terasa penting: “UKM sebagai tulang punggung atau motor penggerak ekonomi”.
Masalah baru yang dikemukakan di pertemuan itu sebagian besar adalah mengenai berkembangnya Big Data, privasi data dan perusahaan-perusahaan FinTech. Seingat saya, Wakil Menteri Keuangan Jerman Jens Spahn menyimpulkan isu utama dari pertemuan tersebut seperti ini: “Big Data dan FinTech akan datang, tidak ada yang bisa mengentikannya. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita mengatur mereka tanpa membunuh inovasi.”
Di tengah kerumunan 100 orang lebih pembuat keputusan tingkat tinggi, empat orang pengusaha FinTech juga ada di sana. Kami diminta berbicara tentang pengalaman-pengalaman kami, membawa ‘the real economy’, ekonomi riil, ke dalam diskusi.
Lars Kroijer, CEO AlliedCrowds, Alliedcrowds.com
Salah satu dari mereka adalah Lars Kroijer dari AlliedCrowds. Seorang mantan banker investasi dari Denmark, Lars telah mengembangkan database yang sangat berguna yang terdiri dari sumber-sumber pembiayaan, bank-bank, sumber-sumber modal ventura dan sumber-sumber hibah yang bisa mendanai UKM di negara-negara berkembang. Yang menarik, banyak lembaga keuangan yang ada di database tersebut yang berfokus pada UKM di Indonesia.
Lelemba Phiri, CCO di Zoona Ilovezoona.com
Lalu ada Lelemba Phiri dari Zoona. Dia memulai Zoona di Zambia lalu pindah ke Afrika Selatan untuk membantu mengembangkan Zoona. Core business Zoona adalah pengiriman uang secara domestik dari satu kota ke kota lainnya. Namun mereka juga membantu mendanai pertumbuhan waralaba-waralaba kecil dan menyediakan pendampingan. Apakah ada perusahaan yang bergerak di pengiriman uang domestik di Indonesia?
Roland Claussen, salah satu pendiri Awamo, Awamo.com
Roland Claussen dari Awamo dengan cepat menyadari bahwa dengan begitu besarnya pasar pembiayaan mikro yang terfragmentasi di Afrika, membagikan satu database yang berisi data-data peminjam di antara lembaga-lembaga pembiayaan mikro (MFI) adalah sebuah langkah yang tepat. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dan menghemat uang dalam proses KYC (Know Your Customer, sebuah pedoman yang digunakan MFI di Afrika dalam memverifikasi data dan kelayakan kredit seorang peminjam).
Banyak MFI di Afrika menggunakan sistem Awamo dan inovasi utamanya: sebuah pemindai sidik jari biometrik (untuk 10 sidik jari) untuk memvalidasi data seorang calon penerima pinjaman. Solusi seperti ini akan sangat bagus untuk Indonesia, apalagi kalau diaplikasikan oleh BRI dengan menggunakan database yang bisa digunakan bersama dengan Koperasi-Koperasi Simpan Pinjam dan Bank Perkreditan Rakyat di daerah-daerah.
Thierry Sanders, CEO of PT Sampoerna Wirausaha (Mekar), Mekar.id
Saya memutuskan tidak akan mempresentasikan tentang perusahaan saya, Mekar, https://mekar.id. Saya lebih memilih menceritakan pengalaman saya, tentang susah senangnya memulai sebuah perusahaan FinTech lending di Indonesia.
Mekar menawarkan pinjaman langsung di tahun 2016, tapi kami dengan cepat menyadari bahwa orang Indonesia (dalam hal ini peminjam dan agen pencari pinjaman) sangat kreatif dalam mengecoh sistem dan protokol penilaian kredit apapun yang kami terapkan, untuk kepentingan finansial mereka sendiri.
Kami juga menyadari bahwa penagihan pinjaman bukanlah FinTech, melainkan PeopleTech. Orang-oranglah yang harus bergerak dan menagih pengembalian pinjaman. Ini bukan bisnis yang langsung jadi, perlu pengorbanan keringat, manajemen, pelatihan dan pengawasan. Butuh waktu dan kerja keras. Ini berarti Mekar tidak akan bisa memperluas lingkup menjangkau seluruh Indonesia, sampai kami memiliki tim penagih berjumlah besar yang tersebar sejauh 4.900 km dari Aceh sampai Papua. Ini tidak akan pernah terjadi. Kami menyadari bahwa FinTech tidak akan sepenuhnya bisa membuat kegiatan pinjam meminjam menjadi lebih efisien.
“Di akhir tahun 2016 Mekar mengubah haluan dari model bisnisnya,” Matt Gamser dari IFC, moderator kami, menyimpulkan. Mekar memutuskan untuk menempatkan lembaga-lembaga non-bank yang jumlahnya sangat besar di Indonesia sebagai komponen utama model bisnis kami.
Sejak Januari 2017, Mekar melakukan dua hal. Mekar mengidentifikasi pinjaman-pinjaman potensial untuk ditindaklanjuti oleh lembaga-lembaga pendanaan (FI) secara online dan dengan memanfaatkan teknologi chatbot (https://leads.mekar.id). Bagi para FI, layanan ini menghemat banyak waktu dan uang.
Yang kedua, Mekar juga menjual pinjaman-pinjaman untuk UKM yang sedang dilayani oleh para FI melalui situs crowdfunding Mekar https://mekar.id kepada masyarakat kelas menengah Indonesia. Dengan memanfaatkan layanan Mekar, para FI bisa lebih cepat mendapatkan kembali uang mereka untuk dipinjamkan lagi kepada UKM lainnya.
Dengan cara ini, para FI bisa fokus melakukan hal yang menjadi keahlian mereka: memberi pinjaman dan menagih pengembalian. Ini adalah sebuah solusi win-win yang bagus untuk FinTech dan perbankan. Dengan begini, FinTech menjadi sebuah pelengkap bagi sektor pembiayaan yang telah berjalan, dan bukannya menjadi sebuah bisnis yang sifatnya disruptive.
Tim Kanning, Editor Bisnis di koran Frankfurter Allgemeine Zeitung (www.faz.net) menulis tentang sesi diskusi berikut ini.