Pernahkah Anda memiliki ide dan peluang emas, tapi tidak pernah mencobanya karena takut rugi? Kemudian ketika orang lain melakukan ide yang sama dan mendapat keuntungan, Anda hanya bisa menyesalinya.
Jika Anda menjawab ya, maka itu hanyalah salah satu contoh dari irasionalitas manusia yang terprediksi. Tahun lalu, Profesor Richard Thaler mendapat Nobel dalam bidang ekonomi atas studinya yang membuktikan bahwa pengambilan keputusan dipengaruhi irasionalitas manusia.
Sayangnya, irasionalitas ini begitu sistemik hingga ke level negara. Kebijakan pemerintah yang hanya “main aman” tanpa diimbangi upaya lebih lanjut untuk implementasi telah menghalangi masyarakat untuk menikmati manfaat optimal dari potensinya.
Tulisan ini akan mengulas irasionalitas pengambilan kebijakan dalam kajian identitas digital dan inklusi keuangan di Indonesia.
Inklusi vs Potensi
Anda mungkin sering mendengar tentang rendahnya inklusi keuangan di Indonesia (36% menurut Bank Dunia). Bagaimana sebagian besar masyarakat belum terintegrasi secara penuh ke dalam layanan keuangan formal.
Salah satu penyebab utama rendahnya inklusi keuangan adalah masalah identitas. Program Identification for Development dari Bank Dunia berfokus pada masalah ini. Diperkirakan 2,4 miliar orang tidak memiliki rekam identitas yang diakui. Sementara identitas menentukan akses seseorang ke dalam layanan keuangan hingga jaminan sosial dan hak politik.
Apakah Anda pernah memiliki pengalaman tidak menyenangkan dalam mengurus e-KTP? Ini adalah contoh kecil dalam permasalahan identitas. Sementara relasi inklusi keuangan dan identitas jauh lebih kompleks dibanding sekadar memiliki KTP.
Di lain sisi, perkembangan teknologi menjadi faktor kunci dalam membangun sistem identitas melalui identitas digital. Laporan USAID menyebutkan bahwa identitas digital menjadi jawaban bagi ketimpangan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Semakin tingginya penetrasi internet, meluasnya penggunaan telepon selular, hingga perkembangan pesat FinTech adalah potensi untuk membangun sistem identitas digital. Indonesia memiliki potensi ini.
Baca juga: Fintech, Formalitas Regulasi dan Inklusi Keuangan
Pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 133 juta dengan pertumbuhan per tahun 5 kali lipat dibanding rata-rata pertumbuhan global. Sementara penggunaan kartu selular tahun lalu mencapai 393 juta atau 150% dari populasi Indonesia. Pertumbuhan industri FinTech di Indonesia tidak kalah pesat dimana lebih dari separuh perusahaan FinTech di Indonesia didirikan dalam 2 tahun terakhir. Namun semua potensi ini tidak mencerminkan inklusi keuangan di Indonesia. Terjadi ketimpangan antara inklusi keuangan dengan potensi sebenarnya yang dimiliki masyarakat.
Kebijakan vs Implementasi : Bagaimana Irasionalitas Terjadi
Sejak tahun 2008 sebenarnya telah terbit UU No. 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Identitas digital berupa sertifikat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik diatur dalam UU tsb. Sayangnya UU ITE belum dapat diterapkan secara luas. Setidaknya terdapat 2 permasalahan :
1. Kepastian Hukum
Pengakuan hukum terhadap tanda tangan elektronik yang diatur dalam UU ITE tidak menjamin kepastian hukum. UU ITE menyebutkan tanda tangan elektronik memiliki kepastian hukum selama memenuhi beberapa persyaratan, dimana ketentuan lebih lanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Namun baru 4 tahun kemudian PP tsb terbit melalui PP No. 82 tahun 2012 (PP 82).
Hal ini cukup kontradiktif karena PP dibuat salah satunya agar suatu kebijakan dapat diimplementasikan dengan cepat dengan pengaturan yang lebih jelas untuk menjamin kepastian hukum. Sayangnya cerita tidak berhenti sampai di sini. PP 82 menyebutkan bahwa sertifikat elektronik diberikan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik yang harus mendapatkan pengakuan Menteri. Sementara ketentuan lebih lanjut terkait pengakuan Menteri baru akan diatur kemudian dalam Peraturan Menteri. Dan yang terjadi adalah konsultasi publik mengenai “Rancangan Peraturan Menteri mengenai Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik” baru dilakukan Januari 2018.
Hal ini bisa jadi karena terdapat kecenderungan yang sama dalam irasionalitas pengambilan keputusan dimana upaya pencegahan resiko tidak diimbangi implementasi untuk mewujudkan peluang. Jika kita melihat struktur UU ITE, maka pasal-pasal mengenai larangan, penyidikan, dan sanksi banyak mendominasi. Sementara aspek kunci dalam implementasi kebijakan masih harus dijelaskan oleh peraturan turunan yang hingga 10 tahun kemudian belum jelas ujungnya.
Juga, terdapat ketimpangan dalam UU ITE antara tujuan yang ingin dicapai dengan peran pemerintah. UU menyebutkan tujuan mengembangkan perekonomian hingga membuka kesempatan pengembangan informasi dan transaksi eletronik secara optimal. Ini mencerminkan tujuan untuk mewujudkan peluang dan mengoptimalkan manfaat bagi masyarakat. Namun peran pemerintah yang disebutkan dalam pasal 40 UU ITE hampir semuanya berkutat pada aspek perlindungan dan pengamanan.
Identitas digital sebenarnya tetap dapat diterapkan, tapi secara eksklusif. Contohnya jika Anda sudah melalui verifikasi tatap muka di bank A, maka Anda dapat membuka rekening di bank tsb dan melakukan transaksi keuangan dengan mudah melalui internet banking atau media lainnya. Ini karena Anda telah memiliki identitas digital yang diakui Bank A. Namun kemudahan ini tidak berlaku untuk layanan dari lembaga keuangan lain. Anda tetap harus melalui proses verifikasi identitas dari awal yang cenderung merepotkan. Lembaga keuangan tidak akan mengambil resiko penerapan identitas digital secara luas jika tidak dilindungi oleh kepastian hukum.
2. Fragmentasi Stakeholder
Pelaku FinTech sebenarnya bisa diharapkan untuk inovasi teknologi dalam mendorong inklusi keuangan. Namun pelaku FinTech masih menghadapi tantangan terbesar berupa KYC dan tanda tangan digital (laporan Asosiasi FinTech Indonesia). Semuanya bersumber dari permasalahan identitas yang tidak akan teratasi hanya dengan keluarnya regulasi baru.
Identitas digital berada dalam pengaturan Kominfo, sementara layanan keuangan diregulasi oleh instansi lain seperti BI, OJK, atau Kementerian Koperasi. Meski sudah terdapat perjanjian kerjasama antar regulator, upaya untuk membangun sistem identitas masih terkesan terfragmentasi. Regulasi yang dikeluarkan justru terkesan untuk membentengi institusi agar tidak disalahkan ketika terjadi resiko terburuk di masyarakat. Penulis tidak bermaksud mengabaikan mitigasi resiko yang dilakukan oleh pengambil kebijakan. Justru mitigasi resiko adalah salah satu faktor kunci untuk pertumbuhan secara berkelanjutan. Namun tidak seharusnya mitigasi resiko terjebak dalam kecenderungan irasionalitas pengambilan keputusan.
Pemerintah Sebagai Kunci
Jika kita melihat project raksasa Aadhar, pemerintah India bukan hanya berhasil meregistrasi lebih dari 1 milyar penduduknya lewat sistem identitas tunggal, tapi juga mengintegrasikan sistem ini dengan berbagai stakeholder, pemerintah maupun swasta. Hasilnya layanan keuangan yang efisien dan efektif yang bisa menjangkau sebagian besar masyarakat.
Contoh lain adalah program open banking di Inggris dimana pemerintah “memaksa” 9 bank terbesar di Inggris untuk membuka diri terhadap integrasi data dan layanan. Program ini memampukan masyarakat, khususnya UMKM, untuk membuat dan mengelola rekening di berbagai lembaga keuangan lewat 1 aplikasi saja. Masyarakat disajikan dengan kemudahan, cakupan yang lebih luas, hingga transparansi layanan.
Dua contoh di atas menunjukkan keberhasilan yang ditentukan peran pemerintah dalam menggerakkan seluruh stakeholders secara efektif. Pemerintah RI sebenarnya telah memiliki Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang diatur dalam Peraturan Presiden. Meski demikian, penulis belum melihat pembangunan sistem identitas sebagai prioritas dalam SNKI. Juga, implementasi SNKI memerlukan pengawalan dalam level yang lebih mikro untuk mencegah fragmentasi antar instansi pemerintah dan memastikan tujuan SNKI tercapai. Dalam hal ini, konsep satgas dalam Perpres mengenai Percepatan Pelayanan Berusaha dapat menjadi referensi, dimana satgas menjadi pengawal proses perubahan pelayanan perizinan berusaha dari penguasa/ birokrat menjadi pelayan masyarakat.
Pada akhirnya, inklusi keuangan tidak akan terwujud hanya dengan regulasi, strategi, ataupun inovasi teknologi, tapi yang tidak kalah penting adalah implementasi riil yang bisa menyatukan seluruh stakeholders dimana pemerintah menjadi penggerak utama.
Ditulis oleh Pandu Aditya Kristy (Chief Operating Officer PT Mekar Investama Sampoerna)
Artikel ini dipublikasikan juga di Bisnis Indonesia