Kabar Mekar

Fintech, Formalitas Regulasi dan Inklusi Keuangan

Coba bayangkan : Anda membeli mie instant di sebuah warung kecil di perkampungan terpencil. Pemilik warung kemudian mengeluarkan smartphone murah miliknya, lalu Anda menempelkan jari di layar smartphone tersebut untuk menyetujui pembayaran. Seketika, saldo rekening bank Anda berpindah ke rekening pemilik warung sesuai harga mie.

Atau bayangkan Anda memberikan pinjaman kepada pemilik warung melalui gadget Anda setelah mengetahui kredibilitas pemilik warung (juga dari gadget Anda) dengan standar yang sama seperti bank menilai debiturnya.

Inilah FinTech (Financial Technology), jika Anda tidak ingin dipusingkan dengan definisi. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah FinTech seharusnya bukan hanya tentang kecanggihan teknologi, namun juga tentang inklusi keuangan. Teknologi yang dapat membantu masyarakat secara finansial, bahkan sampai perkampungan paling ujung di Indonesia. Dan apa yang kita bayangkan di atas sudah mulai berjalan di India.

Per Desember 2016, pemerintah India lewat proyek ambisiusnya “Aadhaar” telah berhasil meregistrasi 1,09 miliar penduduknya atau sekitar 85% populasi India. Aadhaar adalah nomor identitas tunggal mengandung data biometrik dan demografis penduduk yang tersimpan dalam database terpusat dan online. Aadhaar terkoneksi dengan berbagai stakeholder, baik instansi pemerintah maupun swasta, termasuk lembaga keuangan. Lewat Aadhaar, berbagai transaksi keuangan masyarakat dan program pemerintah berjalan mudah, cepat, dan aman lewat “cap jempol”.

Bagaimana dengan Indonesia? Perkembangan FinTech di Indonesia ditandai dengan pertumbuhan pesat jumlah perusahaan FinTech dalam 2 tahun terakhir. Menurut laporan DailySocial dan Asosiasi FinTech Indonesia, jumlah perusahaan FinTech Indonesia tumbuh 78% sepanjang 2015-2016. Diperkirakan saat ini terdapat 140 perusahaan FinTech di Indonesia. Ibaratnya seperti bunga-bunga bermekaran. Dalam hal kompetisi, hal ini tentunya positif.

Namun di lain sisi kita sampai pada titik di mana masyarakat tidak lagi diuntungkan. Gambar di bawah menunjukkan situasi yang menunjukkan fragmentasi, bukan inklusi.

6 merchant pembayaran di toko ini menunjukkan betapa terfragmentasinya sistem pembayaran kita. Menjamurnya mesin ATM, satu mesin ATM untuk satu bank, menunjukkan permasalahan yang sama. Kini dengan berbagai e-wallet yang ditawarkan bank dan perusahan FinTech, fragmentasi ini semakin meningkat. Sekilas kita nampak semakin menjauh dari bayangan yang ada di awal tulisan ini. Baik penjaga toko di gambar tersebut maupun pelanggan sama-sama bingung, mereka hanya menginginkan sistem pembayaran yang mudah.

Peran Pemerintah dan Inklusi Keuangan

Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki semangat positif dalam merespon perkembangan FinTech. Bisa dilihat dari pidato Presiden Jokowi dalam pembukaan Indonesia FinTech Festival and Conference pada Agustus 2016. Kemudian pada Desember 2016 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan Peraturan No. 77/POJK.01/2016 tentang “Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi”, atau biasa juga disebut FinTech lending, setelah sebulan sebelumnya Bank Indonesia (BI) meresmikan BI FinTech Office pada November 2016.

Namun semangat positif ini bisa berhenti pada tataran formal regulasi jika tidak diikuti implementasi secara konsisten untuk mencapai inklusi keuangan.

Kita mungkin sering mendengar ulasan data World Bank dimana hanya 36% warga Indonesia memiliki akses perbankan dan hanya 13% yang mendapatkan fasilitas pinjaman dari lembaga keuangan formal. Atau tentang usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang memiliki kontribusi terbesar dalam GDP dan menciptakan lebih dari 100 juta lapangan kerja di Indonesia, tapi hanya sekitar 20% UMKM yang memiliki akses perbankan. Namun data tsb bisa jadi hanya akan menjadi referensi jargon inklusi keuangan semata jika kita tidak mencoba melihat hal lain secara komprehensif, seperti misalnya berapa banyak lembaga yang mencoba terjun dalam program kredit UMKM dan gagal dalam program tsb karena banyak debitur tidak memiliki kredibilitas bayar sehingga menciptakan kredit macet ? Adakah relevansi antara keengganan memberikan kredit kepada UMKM dengan kesulitan menyaring debitur UMKM yang layak dibiayai ?

Menurut pengalaman penulis di jasa layanan keuangan, banyak lembaga keuangan baik bank maupun non-bank mengeluarkan biaya begitu besar untuk melakukan restrukturisasi kredit terhadap UMKM. Sementara data debitur dengan kualitas kredit kurang lancar hingga macet dalam Sistem Informasi Debitur (SID) belum dapat diakses oleh sebagian besar lembaga keuangan non-bank. Memang debitur bermasalah tsb hanyalah segelintir dari UMKM, namun potensi kerugian yang besar akibat kredit bermasalah membuat banyak lembaga keuangan menjadi terlalu ketat dalam menyeleksi pengajuan pinjaman UMKM, tidak terkecuali juga perusahaan FinTech lending. Dalam pembicaraan penulis dengan pihak manajemen beberapa perusahaan FinTech lending, kesulitan melakukan penyaringan debitur bermasalah membuat perusahaan mereka hanya menghasilkan tingkat persetujuan 3% dari total pengajuan pinjaman. Jika demikian halnya, lalu apa bedanya perusahaan FinTech dengan lembaga keuangan lainnya jika kecanggihan teknologi yang dimilikinya tidak berkontribusi terhadap inklusi keuangan ?

Pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki momentum yang baik tahun ini untuk mendorong inklusi keuangan melalui FinTech. Salah satunya dengan pembangunan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) oleh OJK yang akan menggantikan Sistem Informasi Debitur (SID). Begitu juga dengan munculnya biro informasi kredit swasta atau secara formal disebut Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) yang diharapkan dapat memberikan informasi perkreditan dengan lebih komprehensif dan menggandeng lebih banyak lembaga keuangan.

Momentum ini dapat dimanfaatkan dengan baik misalnya dengan memberikan kemudahan bagi perusahaan FinTech yang banyak didominasi oleh perusahaan startup untuk terintegrasi ke dalam SLIK. Bagi banyak perusahaan FinTech startup, persyaratan pemenuhan seluruh informasi customer di dalam SLIK akan menjadi kesulitan tersendiri karena perusahaan startup ini telah mulai berjalan dan memiliki basis pengguna yang luas sebelum POJK tentang FinTech dikeluarkan. Oleh karenanya perusahaan FinTech startup dapat diberikan kemudahan mengenai persyaratan menjadi anggota SLIK dan kemudian didorong untuk memenuhi persyaratan formal dalam jangka waktu tertentu setelah menjadi anggota. Begitu juga dalam proses implementasi SLIK, perusahaan FinTech dapat mulai dilibatkan dalam workshop maupun diskusi bersama. Dalam area yang lain, pemerintah juga dapat mendorong terbentuknya lebih banyak LPIP. Terlebih lagi kemunculan LPIP berkontribusi terhadap indikator akses kredit dari Bank Dunia yang akan meningkatkan peringkat Indonesia secara internasional.

Lebih dari itu, inklusi keuangan memerlukan ekosistem pendukung yang bukan hanya memerlukan dukungan regulator keuangan seperti OJK atau BI, tapi juga lembaga pemerintahan terkait lainnya. Sebagai contoh, tanda tangan digital sudah dirumuskan lama lewat Undang-undang (UU) Informasi Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Namun apakah Anda sudah memiliki tanda tangan digital yang bisa digunakan secara luas dan memiliki pengakuan hukum seperti tertuang dalam UU dan PP ? Penulis yakin belum, karena Kementerian Komunikasi dan Informatika menargetkan peluncuran tanda tangan digital baru pada kuartal kedua tahun ini melalui kerjasama dengan lembaga yang bisa melakukan validasi tanda tangan digital atau disebut juga CA (Certification Authority). Melihat India, akses informasi dan kemudahan validasi identitas adalah salah satu faktor kunci dalam inklusi keuangan. Pemerintah tampaknya telah merumuskan hal ini sejak lama, tapi memerlukan jalan yang begitu panjang untuk sampai pada tahap implementasi.

Pada akhirnya, kontribusi FinTech dan harapan terhadapnya akan banyak dipengaruhi oleh peranan pemerintah bukan hanya melalui dukungan formal berupa regulasi, tapi bagaimana regulasi tersebut dapat mendorong seluruh stakeholder terkait untuk menciptakan ekosistem yang mendukung inklusi keuangan.