Artikel diterbitkan pada 26 Februari 2017 oleh Frantfurter Allgemeine
Thierry Sanders telah mengambil salah satu langkah terpenting dalam membangun perusahaan Fintech yang sukses: ia gagal dan bangkit lagi. Melalui platform pinjaman online miliknya, ia ingin menghubungkan masyarakat kelas menengah kaya di Jakarta dengan jutaan pengusaha mikro di Indonesia yang membutuhkan pinjaman. Ini adalah solusi yang menguntungkan kedua belah pihak, para investor mendapatkan investasi yang menarik, peminjam mendapatkan pinjaman. Kurang lebih inilah yang juga ditawarkan oleh platform-platform crowdfunding di Jerman.
Harga yang Harus Dibayar
Namun Sanders dengan cepat menyadari: platform ini menarik perhatian orang-orang dengan niat buruk. Banyak peminjam yang mengakali tes kelayakan kredit yang disyaratkan, yang sesungguhnya ada untuk menjaga agar investor tidak kehilangan uang mereka. Selain itu, menagih pembayaran pinjaman juga terlalu sulit dilakukan di negara kepulauan ini.
Dalam waktu begitu singkat, Sanders harus menghentikan bisnisnya. Untuk sementara waktu, Mekar, perusahaan Fintech miliknya mengalihkan fokusnya ke aktivitas mengumpulkan prospek-prospek pinjaman usaha mikro melalui Facebook. Seluruh proses kredit, manajemen resiko dan penagihan dialihkan ke lembaga-lembaga keuangan lain yang telah mapan. Mekar lalu juga menjual pinjaman-pinjaman usaha ini ke investor-investor kaya. Targetnya adalah mendanai satu juta pemilik usaha mikro dengan angka pinjaman mulai dari $ 2,000 sampai dengan $50,000.
Layanan yang Lebih Murah
Cerita yang disampaikan Sanders pada hari Jumat (24/2), Februari lalu di sebuah workshop yang digelar sebagai persiapan menuju Konferensi G-20 di Frankfurt, Jerman, mengilustrasikan dua hal: di satu sisi, metode yang digunakan para pemain muda di bidang teknologi finansial terlihat sebagai sebuah solusi yang bisa menyediakan layanan perbankan di daerah-daerah terpencil dan belum berkembang di seluruh dunia. Di sisi lain, mekanisme kontrol resiko harus terus dikembangkan, terutama di negara-negara berkembang. Telepon genggam, internet dan Facebook telah menyebar dengan cepat di banyak tempat di dunia, tidak hanya di kota-kota besar metropolitan – transaksi pembayaran melalui ponsel (mobile payment) pun jauh lebih jamak di Afrika dibanding di Jerman.
Bagaimana memanfaatkan teknologi-teknologi baru di bidang finansial agar dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bahkan di negara-negara termiskin sekalipun, inilah tema yang diusung di Konferensi G-20 di Jerman tahun ini. Bagi Jens Spahn, Wakil Menteri Keuangan Jerman, sudah jelas bahwa “perusahaan-perusahaan Fintech sungguh dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.” Dengan adanya internet dan ponsel pintar, layanan perbankan pun dapat ditawarkan pada seorang petani di Amerika Selatan, katanya di sela-sela pertemuan di hari Jumat itu.
Layanan-layanan yang ditawarkan oleh perusahaan Fintech biasanya lebih murah sehingga dapat terjangkau juga oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Spahn menyebut tentang Robo Advisor, sebuah layanan konsultasi perbankan terotomatisasi, sebagai satu contoh lainnya. Para klien Robo Advisor di negara-negara barat akan mendapatkan nasihat perbankan yang mumpuni jika mereka memiliki beberapa ratus ribu Euro untuk diinvestasikan. Program komputer ini menyusun portofolio dari berbagai Reksa Dana Indeks yang dikelola secara pasif setelah klien menjawab beberapa pertanyaan, dan dapat digunakan juga untuk nilai-nilai investasi yang jauh lebih kecil.
Alternatif untuk bunga pinjaman yang sangat tinggi
Dalam memberikan bantuan untuk pembangunan, Jerman ingin lebih fokus pada pengembangan usaha-usaha kecil dan menengah di negara-negara berkembang. “Kita perlu lebih banyak menitikberatkan pada terciptanya situasi bisnis yang kondusif untuk usaha-usaha kecil dan menengah, dibanding berinvestasi langsung di UKM-UKM,” ujar Thomas Silberhorn, Wakil Menteri Jerman untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan. Pada akhirnya, usaha-usaha kecil-lah yang membawa pertumbuhan dan menciptakan lapangan pekerjaan di daerah-daerah pedesaan. Sebagai contoh, salah satu masalah di Afrika adalah banyaknya orang-orang yang tidak mempercayai lembaga-lembaga lokal – saat mereka menghasilkan uang, alih-alih berinvestasi di tingkat lokal, mereka akan mengirim uangnya ke luar negeri. “Teknologi dapat menjadi penggerak pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang,” kata Ingrid Hengster, anggota dewan pelaksana KfW, bank pembangunan Jerman, di mana acara pertemuan diadakan.
Selain Sanders dan usaha crowdinvesting yang dijalankannya di Indonesia, ada juga tiga wirausahawan lainnya, yang juga bergerak di bidang Fintech. Salah satunya adalah Awamo, yang mencoba mengembangkan sebuah sistem pinjaman yang seragam dan dapat digunakan oleh 24.000 lembaga keuangan mikro di kawasan Sub-Sahara Afrika yang bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Lembaga-lembaga ini bisa diandaikan seperti bank-bank mini dan biasanya terdiri dari beberapa orang karyawan yang bertugas memberikan kredit usaha mikro pada perusahaan-perusahaan lokal dengan proses kredit yang masih paper-based dan bunga pinjaman yang sangat tinggi, mencapai 7% per minggu, seperti dikatakan oleh salah satu pendiri Awamo, Roland Claussen. Dengan mengubah proses kredit mikro menjadi online dan terstandardisasi, akan menghemat banyak sekali waktu dan uang, dan pada akhirnya ini berarti akan ada lebih banyak uang yang tersisa untuk membiayai usaha-usaha kecil.