Kabar Mekar

Evolusi Program CSR di Indonesia: Antara Tanggung Jawab Sosial dan Peluang Bisnis

Satu momen penting dalam sejarah Indonesia terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Sebuah tsunami besar melanda, menelan 250.000 korban jiwa, sementara 650.000 orang kehilangan tempat tinggal. Rakyat Indonesia bersatu, memberikan upaya terbesar mereka untuk saling membantu. Si miskin, si kaya, pemerintah, tentara dan perusahaan-perusahaan bahu-membahu memberikan bantuan bagi para korban bencana. Sebagian besar yang terlibat dalam upaya kemanusiaan itu tidak memikirkan keuntungan pribadi dan secara sukarela menyumbangkan waktu dan tenaga, uang dan berbagai bahan kebutuhan pokok.

Bencana tsunami yang dahsyat itu lalu menginspirasi lahirnya organisasi-organisasi baru dengan misi membantu orang-orang yang membutuhkan. Beberapa perusahaan besar mendirikan yayasan nonprofit, misalnya seperti Yayasan Putera Sampoerna.

Koperasi-koperasi baru juga bermunculan, salah satunya Koperasi Mitra Dhuafa (Komida). Pada awalnya koperasi ini mengumpulkan sumbangan uang untuk membantu para korban tsunami. Tak lama, terinspirasi oleh skema pinjaman kelompok perempuan yang dijalankan oleh Grameen Bank, Komida lalu memulai program simpan pinjam khusus untuk perempuan.

Berbagai upaya ini, ditambah dengan konsep amal umat Islam yaitu zakat, menjadi pemicu lahirnya beberapa peraturan hukum di tahun 2007 yang mengatur tentang CSR (Corporate Social Responsibility atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) di Indonesia. Undang-undang CSR berlaku bagi semua penanam modal atau investor (UU No. 25) dan bagi perusahaan perseroan terbatas (UU No. 40).

Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang memiliki hukum yang mengatur CSR. Perusahaan-perusahaan BUMN dan milik pemerintah lainnya yang bergerak di sektor SDA berkewajiban secara hukum untuk beramal. Sayangnya, diberlakukannya undang-undang tersebut tidak dibarengi dengan pelaksanaan dan penegakan, sehingga dampaknya tidak terasa.

Indonesia bukan satu-satunya yang menghadapi masalah ini, di negara-negara lain pun CSR mengalami evolusi yang sama: berawal dari terjadinya bencana hingga munculnya peraturan. ‘Bencana’ juga bisa dialami oleh perusahaan, tidak hanya pada skala negara. Seperti misalnya yang terjadi di pabrik bahan kimia Union Carbide di Bhopal, India. Sebuah ledakan menewaskan lebih dari 10.000 orang dan melukai lebih dari setengah juta orang lainnya.

Atau, yang mungkin tidak terlalu merugikan tapi lebih sering terjadi, yaitu banyaknya fashion brands yang berkali-kali kedapatan mengeksploitasi buruh-buruh pabriknya di Indonesia, Kamboja, India dan Bangladesh. Skandal semacam ini lalu mendorong diciptakannya label Fair Wear untuk proses produksi yang etis. Bagi Bank ABN Amro, sebuah petisi yang digalang oleh nasabah-nasabahnya di tahun 1999 untuk menghentikan pembiayaan bagi pertambangan Freeport di Papua di mana terjadi kasus-kasus kekerasan dan juga skandal pencemaran alam menjadi sebuah wake-up call. Kasus ini menjadi salah satu pendorong diterapkannya Equator Principles yang menjadi panduan praktek perbankan yang etis dan bertanggungjawab.

Begitulah, CSR seringkali dimulai dari terjadinya sebuah bencana, seperti misalnya tsunami, lalu berevolusi seiring munculnya sebuah cambuk, seringnya berbentuk peraturan. Perusahaan-perusahaan akan berbondong-bondong mematuhi peraturan-peraturan ini, dan untuk sebagian besar di antaranya, program CSR mereka akan berhenti berevolusi sampai di situ dan selamanya menjadi skema yang berbasis dan berfokus pada sumbangan amal dari perusahaan yang ditujukan untuk masyarakat sekitarnya. Contohnya yaitu program Garuda Cares oleh maskapai nasional Garuda Indonesia dan program-program donasi oleh yayasan Pertamina Sobat Bumi.

Namun, sebagian kecil perusahaan dapat lebih jauh mengembangkan program CSR-nya. Mereka menyadari bahwa CSR dapat menambah nilai sebuah perusahaan, salah satunya untuk menarik minat dan mempertahankan karyawannya. Sebuah perusahaan marketing di Jakarta, We are Percolate, mengerahkan segala upaya untuk meningkatkan kondisi lingkungan kerja di kantor mereka. Perusahaan ini telah mendapatkan sertifikasi “B-Corp” untuk usaha mereka.

Perusahaan-perusahaan lainnya melangkah lebih jauh dan benar-benar mengintegrasikan CSR ke dalam produk-produk mereka. Ini berarti setiap produk yang terjual akan memperbaiki kualitas hidup dari semua orang yang terlibat dalam pembuatan maupun pemakaian produk tersebut.

Indosole, sebuah produsen sandal di Bali, tidak hanya mengutamakan kesejahteraan karyawannya; produk-produk perusahaan ini merupakan hasil daur ulang dari ban karet bekas. Indosole adalah perusahaan kedua di Indonesia yang mendapatkan sertifikasi B-Corp. B-Corp adalah sistem sertifikasi internasional untuk perusahaan-perusahaan yang menerapkan CSR sebagai sebuah strategi proaktif. Danone, produsen air minum dalam kemasan Aqua, juga telah mendaftar untuk mendapatkan sertifikasi ini.

Perusahaan-perusahaan yang menerapkan program-program CSR lebih dari sekedar sebuah bentuk donasi atau amal, dapat memandang CSR sebagai sebuah iming-iming atau hadiah, bagaikan sepotong wortel yang digelantungkan di sebuah bilah di hadapan seekor keledai untuk membuatnya berjalan.

Bagi perusahaan-perusahaan semacam ini, kesejahteraan shareholder (pemegang saham) dan kesejahteraan stakeholder (karyawan, staf, keluarga karyawan, supplier, pelanggan dan seterusnya) bukanlah dua hal yang saling bertentangan. CSR berevolusi dari sebuah strategi yang sifatnya defensif – yaitu sebagai sebuah kelanjutan dari bencana dan lalu menjadi cambuk, menjadi sebuah strategi bisnis yang proaktif: sepotong wortel.

Sebagian besar perusahaan di Indonesia masih pada tahap defensif, di mana CSR dipandang sebagai suatu kegiatan beramal, sebuah pengeluaran. Program-program sumbangan amal ini mampu menciptakan nama baik perusahaan, sedikit banyak seperti halnya beriklan. Ini saat yang tepat untuk beralih ke strategi CSR yang tidak hanya menguntungkan para pemegang saham, tapi juga para karyawan, masyarakat sekitar dan pelanggan.

Putera Sampoerna dan saya memandang CSR lebih seperti sebuah bentuk kewirausahaan sosial perusahaan – untuk Mekar, platform pinjaman peer-to-peer yang kami jalankan, kami mengupayakan sebuah strategi proaktif yang menguntungkan seluruh stakeholders yang mengisi rantai nilai dari produk-produk yang kami hasilkan.

Mekar, PT Sampoerna Wirausaha, adalah sebuah perusahaan hibrida. Mekar berorientasi profit, namun memiliki misi sosial. Mekar dimiliki oleh Yayasan Putera Sampoerna. Klien-klien kami ada yang sangat miskin dan ada yang sangat kaya; kami menghubungkan mereka. Mereka yang kaya dapat meminjamkan uangnya ke pengusaha-pengusaha perempuan miskin. Kami berupaya untuk membagi penghasilan yang bisa dihasilkan dari rantai suplai kami secara adil. Saya akan jelaskan tentang ini.

Mekar mengajak orang-orang dan perusahaan-perusahaan Indonesia yang kaya dan ingin menghasilkan uang dari tabungan mereka, namun juga ingin melakukan kebaikan. Mereka membantu orang-orang yang membutuhkan. Ya, bukan hal yang mustahil untuk memadukan kegiatan membantu rakyat miskin dan menghasilkan uang. Peraih Nobel perdamaian Muhammad Yunus telah menunjukkan pada dunia cara beliau melakukan hal ini di Bangladesh.

Di Indonesia, Komida dan Mekar bekerja sama untuk memudahkan orang-orang kaya yang memiliki tabungan, berbekal sebuah ponsel pintar atau laptop, untuk meminjamkan uang mereka kepada seorang perempuan yang menjalankan sebuah usaha kecil di Aceh atau Papua. Komida mencarikan orang-orang miskinnya, Mekar mencarikan orang-orang kayanya. Bersama-sama kami menciptakan sebuah platform yang bisa diakses via ponsel berkoneksi internet oleh para orang kaya untuk dapat membiayai si miskin. Kesejahteraan semua orang meningkat.

Untuk klien-klien yang berupa perusahaan, Mekar kini telah melangkah lebih jauh. Mekar kini membuka pintu bagi perusahaan dan organisasi untuk menaruh dana mereka dalam sebuah Rekening Investasi Sosial yang selalu berputar. Perusahaan dapat menentukan sendiri preferensi pembiayaan mereka: peminjam perempuan atau laki-laki, usaha toko atau pertanian, lokasi di Jawa atau Nusa Tenggara Timur, tenor panjang atau pendek, dan sebagainya.

Dana mereka, misalnya sebesar Rp 1 miliar, disimpan dalam Rekening Investasi Sosial dan dana ini hanya akan diinvestasikan pada usaha-usaha mikro yang sesuai dengan preferensi perusahaan. Saat investasi mereka dibayarkan kembali, uangnya secara otomatis akan diinvestasikan lagi, sehingga menjadi dana berputar atau sebuah tabungan dengan bunga majemuk. Dalam 12 bulan, dana tersebut akan menghasilkan return sebesar 10%. Uang yang diinvestasikan dijamin keamanannya. Dan pada saat perusahaan menginginkan kembali uangnya, mereka bisa menginstruksikan Mekar untuk berhenti menginvestasikan dana mereka. Semua investasi perusahaan tersebut beserta imbal hasilnya akan disalurkan secara langsung kembali kepada mereka.

Perusahaan-perusahaan yang lebih berani juga dapat mengikutsertakan karyawan mereka dalam skema ini. Karyawan perusahaan dapat memilih untuk menginvestasikan sebagian penghasilan, misalnya bonus tahunan mereka, pada pengusaha-pengusaha kecil. Perusahaan mereka lalu dapat menambahkan dana investasi yang besarnya sama, sehingga menjadi dua kali lipatnya. Karyawan juga dapat menentukan bersama-sama dengan perusahaan mereka bagaimana uang mereka akan diinvestasikan. Para karyawan akan dapat mengunjungi para pemilik usaha kecil, dan sebaliknya pemilik usaha dapat mengunjungi perusahaan yang membiayai pinjaman usaha mereka. Dengan cara ini, uang menjadi sebuah alat untuk menghubungkan si kaya dan si miskin. Ini dapat meningkatkan taraf hidup semua pihak, baik itu perusahaan, karyawan, peminjam maupun pemegang saham. CSR pun kini menjadi sepotong wortel yang lezat, dan bukan hanya sebuah peraturan hambar.

Mungkin Ramadhan ini adalah saat yang tepat untuk mencoba cara baru membantu mereka yang membutuhkan?

Bergabunglah bersama kami di https://mekar.id.

Thierry Sanders, CEO

Mekar, PT Sampoerna Wirausaha

Jakarta, Indonesia