Kabar Mekar

Belajar Keuangan dari Ibu

Oleh Candra Dwi Febriana, Content Creative Lead MEKAR

Ibu adalah sosok yang sangat saya kagumi. Beliau memang hanya seorang lulusan SMA dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang keuangan ataupun belajar keuangan dengan cara menghadiri seminar-seminar perencanaan keuangan yang belakangan sedang tren, namun Ibu bisa mengatur keuangan keluarga kami dengan cermat sehingga kami tak pernah kekurangan.

Bapak saya, sewaktu beliau masih hidup, bekerja di sebuah instansi di kota kecil tempat kelahiran saya di Jawa Barat. Penghasilan Bapak sebagai seorang PNS bisa dibilang terbatas, namun pengelolaan keuangan ala Ibu mampu membuat kami tetap merasa berkecukupan. Walau tidak bisa dibilang keluarga berada, gizi keluarga kami (Bapak, Ibu, dan tiga anaknya) tetap terpenuhi dan tabungan pendidikan Ibu mampu membawa semua anak-anaknya sampai jenjang sekolah tinggi (bahkan saya bisa menyelesaikan S2).

Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil dari cara Ibu mengatur keuangan. Hal-hal ini menjadi ilmu yang berharga dan senantiasa saya terapkan di pengaturan keuangan pribadi saya hingga sekarang. Saya akan bagikan mutiara berharga itu.

Baca juga: 9 Cara Mudah Atur Keuangan Kamu Dengan Perencanaan Keuangan Sederhana Buatanmu Sendiri, Begini Loh Caranya

1. Menabung sejak dini

Saya sudah didorong untuk menabung sejak kecil. Saya ingat suatu waktu ketika saya sangat ingin untuk membeli sebuah mainan gamewatch (saya menyebutnya gimbot) namun ribuan rengekan tak mampu untuk meluluhkan hati Ibu sebagai bendahara keluarga untuk mengabulkan keinginan saya.

Alih-alih membelikan, Ibu malah meminta Bapak untuk menebang pohon bambu yang tumbuh di belakang rumah dan menyulap potongan pohon bambu itu menjadi celengan sederhana, agar saya bisa menyisihkan uang jajan harian saya demi gimbot yang saya dambakan. Beberapa bulan kemudian, gimbot itu pun akhirnya bisa saya dapatkan (terima kasih pada celengan bambu).

2. Hemat bukan berarti pelit


Ibu selalu menekankan bahwa hemat itu sebuah keharusan, namun artinya tidak boleh disamakan dengan pelit. Hemat berarti mengatur sedemikian rupa pengeluaran seperti pembelian sandang pangan sehingga output-nya bisa efisien. Namun, berhemat bukan berarti memilih yang paling murah, karena bagaimanapun juga ‘ada harga ada kualitas’. Ibu dan Bapak lebih bisa bernegosiasi soal biaya terutama soal kesehatan dan pendidikan.

3. Tegas

Tidak hanya persoalan gimbot yang tidak kunjung dibelikan walau sudah merajuk, Ibu juga selalu tegas untuk pengaturan keuangan. Contohnya, sewaktu saya di Sekolah Dasar, saya mendapatkan uang jajan harian sebesar Rp. 500. Ibu selalu menolak jika saya minta uang jajan tambahan di luar uang jajan harian tersebut.

Seandainya waktu itu Ibu tidak tegas, saya tahu saya akan ngelunjak dan terus-terusan meminta lebih banyak. Ini mengajarkan saya bahwa terlalu banyak kompromi dalam mengatur keuangan bisa mendatangkan masalah di masa depan.

4. Hanya karena sekarang belum punya, bukan berarti tidak akan pernah punya

Tidak jarang, dengan begitu ketatnya cara Ibu untuk mengatur keuangan keluarga, kami anak-anaknya tidak bisa minta macam-macam. Sering kami mengeluh, seperti saat saya meminta dibelikan gimbot.

Rajukan tentang gimbot muncul ya tidak bukan dan tidak lain adalah bentuk lain dari FOMO (fear of missing out) edisi 90-an, karena hampir semua teman sekelas di sekolah punya gimbot dan memainkannya di sekolah. Saya kan mau juga, dong. Tapi, ketika saya merajuk, ibu bilang, “Sekarang kamu belum punya, bukan berarti tidak bakal punya, kan? Bersabarlah, nabung dulu.”

5. Berbagilah, maka kamu akan berbahagia

Kami adalah keluarga yang besar. Ibu adalah anak ke-6 dari 11 bersaudara, dan Bapak adalah anak ke-3 dari 9 bersaudara. Belum lagi dari keluarga nenek dari Ibu, kakek dari Bapak, bercabang-cabang ke sana ke mari. Ketika ada yang mendadak butuh uang, sudah pasti seringkali saling meminjam.

Seringkali Ibu marah-marah sendiri ketika tiba-tiba ada kerabat yang meminjam uang. Namun itu hanya omelan ringan karena kemudian beliau selalu berkata, “Berbagilah, maka kamu akan bahagia.”

Saya merasakan bahwa dengan banyak berbagi kebahagiaan, kebahagiaan dalam bentuk lain selalu kembali kepada keluarga kami. Sampai sekarang Ibu masih berhasil membuat saya percaya akan poin ini.

6. Investasi segera

Ibu jugalah yang pertama memperkenalkan investasi kepada saya. Ketika ada uang berlebih, Ibu menggunakan uang tersebut untuk membeli perhiasan emas. Alasannya adalah selain dipakai sebagai perhiasan, emas adalah bentuk investasi dengan pengurangan nilai yang tidak terlalu signifikan dan ketika membutuhkan uang dadakan, emas bisa dengan mudah kembali dijual.

Selain itu, Ibu bersama Bapak melakukan diversifikasi investasi dengan juga membeli beberapa bidang tanah dan memiliki deposito. Saya pernah bertanya, ketimbang investasi, kenapa uangnya tidak digunakan untuk bersenang-senang saja? Jawab Ibu, “Ibu dan Bapak gak mau ngerepotin kalian di masa tua.” Masa tua bukankah memang harus dipersiapkan sedari muda? Benar, kan?

Bapak berpulang beberapa tahun yang lalu. Di suatu malam selepas acara penguburan Bapak, saya bertanya kepada Ibu, “Bapak sudah tiada, pemasukan bulanan pun akan menjadi jauh berkurang, apakah Ibu akan baik-baik saja?” Dengan lembut namun tegas Ibu menjawab, “Jangan khawatirkan Ibu. Ibu dari dulu bisa mengatur keuangan dari gaji bapakmu yang tidak seberapa itu sampai kalian bisa lulus kuliah. Sekarang pun tidak akan berbeda”.